Senin, 28 Desember 2015

naskah drama yang diadopsi dari cerpen

Nama : Dania Salma
NIM : 1400003221
Kelas : B
Mata Kuliah : Penulisan Karya Sastra

naskah drama yang diadopsi dari cerpen

Judul : KABUT IBU


 Karya : Mashdar Zainal


Pemain
1.      Astra adalah seorang anak yang baik, dan penurut terhadap orang tua.
2.      Ibu Sinta adalah seorang wanita yang sayang terhadap Astra, selalu melindungi Astra dan sangat setia terhadap suaminya.
3.      Ayah Aldi adalah seorang lelaki yang tegas.
4.      Abah Zainal adalah seorang lelaki tua yang tegas, penyayang terhadap keluarganya.
5.      Ibu Hanum dan kawan-kawan adalah tetangga rumah Astra.

BABAK I
            Astra melihat kamar ibu yang tertutup kabut. Kabut itu memenuhi kamar, hingga kabut itu memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga ke teras depan. Warga mengira itu adalah asap dari kebakaran. Semakin lama warga hanya melihat asap tebal yang terus menerus. Kabut. Saat itu Ibu Hanum dan warga lain pun berkumpul sedang asik berbincang-bincang.

Warga 1           : “Rumah itu semakin lama, semakin tebal saja”.
Warga 2           : “Betul Bu, kami kira asap itu berasal dari lalapan api tapi semakin lama
                asap itu semakin tebal”.

Ibu Hanum pun ikut serta dalam obrolan mereka.

Ibu Hanum      : “Begitulah ibu-ibu rumah pengikut setan , rumah tanpa Tuhan, rumah
                 itu pasti sudah dikutuk”. (sambil melirik ke arah rumah Astra).
Astra yang sedang bersantai di teras rumah hanya memandang pasrah melihat warga setempat selalu membicarakannya.
BABAK II
Peristiwa yang terjadi pada bulan Oktober 1965. Peristiwa itu membuat Astra masih bertanya-tanya hingga kini. Ketika Astra masih berumur sepuluh tahun peristiwa itu terjadi. Ayah menyuruh Astra dan ibu untuk tetap tenang di dalam kamar belakang. Ibu terus mendekap Astra. Astra bertanya kepada ibunya :
Astra               : “Ibu kenapa kita terus di dalam kamar? Ayah sedang berbicara dengan
    siapa bu?” (sambil menatap ibunya).
Ibu Sinta         : (hanya terdiam, sambil terus mendekap Astra)

Suara desing golok pun terdengar tajam. Hingga terdengar beberapa orang meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian Ayah datang menemui Astra dan ibu yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah mendekati Astra dan ibu.

Ayah Aldi : “Cepat kalian pergi ke rumah Abah Zainal lewat pintu belakang!!!” (sambil menarik Astra dan ibu keluar)

Astra dan ibu pergi ke rumah Abah . Ibu menuntun Astra melewati jalan pematang yang licin. Cahayanya bulan yang redup menemani perjalanan mereka. Beberapa kali Astra terpeleset, kakinya menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin. Ibu menggendong Astra. Sesampainya mereka di rumah Abah Zainal, Ibu mengetuk pintu dengan terburu-buru.
Ibu Sinta         : “Tok..tok..tok”.

Pintu pun dibuka, ibu langsung melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah pergi mengambilkan segelas air putih untuk Astra dan ibu.
Abah Zainal    :”Minumlah dulu”(menyerahkan minum kepada mereka).

Astra dan ibu meminumnya. Abah mengunci pintu rapat-rapat setelah itu berbaring di sebelah Astra. Dari luar terdengar suara riuh teriakan – teriakan, suara kentungan, dan juga suara desing senjata api. Abah menyuruh Astra memejamkan mata.
 Abah Zainal :”Pejamkan matamu.”

Keesokan paginya, ketika adzan berkumandang terdengar begitu bergetar. Abah memanggil – manggil nama Ibu.
Abah Zainal    :”Sinta.. Sinta... Sinta”(mencari keseluruh ruangan).

Abah Zainal panik ketika tidak ditemui lagi Ibu Sinta di kamar. Siangnya Abah mengantarkan Astra pulang dengan kereta unta.
Abah Zainal    :”Ibu pasti sudah pulang”.(berbicara kepada Astra)

Sesampainya di rumah, Abah langsung menutup kedua mata Astra dengan telapak tangannya. Dari sela-sela jari Abah Astra melihat kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang sangat pekat, seperti darah yang mengering. Dengan buru-buru Abah langsung berubah pikiran dan membawa Astra pulang ke rumahnya. Dari kejauhan Astra melihar warga lalu lalang di depan rumahnya yang semakin tak terlihat olehnya. Warga tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda. Di tengah perjalanan Astra bertanya pada Abah.

Astra               :”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” (penuh rasa penasaran)
Abah Zainal    :”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.”( tegas dan terus mengayuh kereta untanya)
Astra               :”Kotor kenapa, Bah?”
Abah Zainal    : (diam sejenak) “Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
Astra               :”Banjir? Kan semalam tidak hujan,Bah. Banjir apa?”(heran)
Abah Zainal    :”Ya banjir.”(dengan gugup)
 Astra              :”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.” (dengan polosnya)
Abah Zainal    :”Hus!”(dengan nada tinggi)